Apoteker.Net – Inflamasi? Bengkak? Inflamasi (respons protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik atau zat kimia yang merusak) adalah usaha tubuh untuk mengnonaktifkan atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan yang disertai peradangan yang akan hilang jika proses penyembuhan telah lengkap (Ganiswarna, 2004).
Tiga fase dalam inflamasi berupa inflamasi akut (respons awal terhadap cedera jaringan), respons imun (pengaktifan sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan untuk merespons organisme asing), dan inflamasi kronis. Hal tersebut terjadi melalui media rilisnya autacoid yang umumnya didahului oleh pembentukan respons imun yang diikuti aktifnya substansi antigenik yang terlepas selama respons inflamasi akut serta kronis (Katzung, 2002).
Banyak obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) yang bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin (PG) sehingga pemahaman akan obat AINS memerlukan pengertian kerja dan biosintesis prostaglandin tersebut (Mycek,2001).
Sampai sekarang fenomena inflamasi pada tingkat bioseluler masih belum dapat dijelaskan secara rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui dan disepakati. Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskuler, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah kalor, rubor, tumor, dolor, dan function laesa. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara local antara lain histamine, 5-hidroksitriptamin (5HT), factor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan PG. Penelitian terakhir menunjukkan autakoid lipid PAF (platelet-activating faktor) juga merupakan mediator inflamasi (Ganiswarna, 2004).
Fenomena inflamasi (kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang) pada tingkat bioseluler masih belum dapat dijelaskan secara rinci. Namun, saat fenomena ini terjadi banyak mediator kimiawi (histamin, faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan lainnya) (Ganiswarna, 2004).
Keunikan obat-obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) terletak pada perbedaan aktivitas antipiretik, analgesik dan anti-inflamasinya meskipun berada dalam satu golongan yang bekerja dengan jalan menghambat enzim sikol-oksigenase tetapi tidak enzim lipoksigenase. Selain itu, pada penderita tertentu, beberapa obat AINS baru lebih superior daripada aspirin yang sudah dikenal sejak dulu, karena aktivitas anti-inflamasinya lebih besar dan terkadang iritasi lambung sebagai efek sampingnya lebih kecil. Namun, yang perlu dperhatikan beberapa tipe telah terbukti lebih tinggi resikonya (Mycek, 2001).
Meski obat-obat tipe salisilat dan agen-agen lain yang mirip mempunyai efek antipiretik dan analgesik, akan tetapi sifat-aifat anti inflamasi merekalah yang membuat mereka paling baik dalam menangani gangguan-gangguan dengan rasa sakit akibat proses inflamasi (Katzung, 2002).
Variasi yang cukup besar dalam respons pasien secara individual hanya memiliki sedikit perbedaan dalam aktivitas inflamasi antara berabagai AINS. Kebanyakan pasien akan bereaksi terhadap semua AINS dan sebagian kecil ada yang tidak bereaksi terhadap salah satunya, dan bereaksi baik terhadap yang lain. Pada penggunaan kortikosteroid (jika obat-obat anti inflamasi lain tidak sanggup) masalah utamanya adalah berakibat pada ketergantungan (kecenderungan yang terjadi dosis dinaikkan lalu dipertahankan dengan alasan bahwa ketika dosis dikurangi penyakit dapat kambuh lagi, terutama bila pengurangan dosis dilakukan terlau cepat) (Anonim, 2000).
Download laporan lengkap tentang Anti Inflamasi di sini.