29.1 C
Banjarmasin
Rabu, Juli 24, 2024

Analisis Fe, Mn, dan Zn dengan Metode Spektrometri Serapan Atom

Apoteker.Net – Analisis Fe, Mn, dan Zn dengan metode spektrometri serapan atom adalah sebuah teknik yang digunakan untuk mengukur konsentrasi logam-logam tersebut dalam sampel. Metode ini menggunakan prinsip serapan cahaya oleh atom-atom dalam sampel yang telah dibakar.

Pada metode ini, sampel yang akan dianalisis dibakar dalam sebuah alat yang disebut furnace untuk menghasilkan suatu gas yang mengandung atom-atom Fe, Mn, dan Zn. Kemudian, gas tersebut dipasangkan ke dalam sebuah alat yang disebut spektrometer, yang akan memancarkan cahaya pada frekuensi yang sesuai dengan elemen-elemen tersebut.

Saat cahaya tersebut dipancarkan ke dalam sampel, atom-atom Fe, Mn, dan Zn akan menyerap sebagian dari cahaya tersebut. Tingkat serapan cahaya oleh atom-atom tersebut akan tergantung pada jumlah dan konsentrasi atom-atom tersebut dalam sampel.

Jika suatu larutan yang mengandung suatu garam logam (atau suatu senyawa logam) dihembuskan ke dalam suatu nyala (misalnya asetilena yang terbakar di udara), dapatlah terbentuk uap yang mengandung atom-atom logam itu. Beberapa atom logam dalam gas ini dapat dieksitasi ke tingkatan energi yang cukup tinggi untuk memungkinkan pemancaran radiasi yang karakteristik dari logam tersebut; misalnya warna kuning karakteristik mewarnai nyala oleh sebab senyawa natrium. Inilah dasar spektrokopi emisi nyala (FES) yang dulu dirujuk sebagai fotometri nyala. Tetapi jumlah jauh lebih besar dari atom logam bentuk gas itu normalnya tetap berada dalam keadaan tak tereksitasi, atau dengan perkataan lain, dalam keadaan dasar. Atom-atom keadaan dasar ini mampu menyerap energi cahaya yang panjang gelombang resonansinya khusus untuknya, yang pada umumnya adalah panjang gelombang radiasi yang akan dipancarkan atom-atom itu bila tereksitasi dari keadaan dasar. Jadi jika cahaya dengan panjang gelombang resonansi itu dilewatkan nyala yang mengandung atom-atom yang bersangkutan, maka sebagian cahaya itu akan diserap, dan jauhnya penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom keadaan dasar yang berada dalam nyala. Inilah asas yang mendasari spektroskopi serapan atom (AAS) (Bassett et all., 1994).

Metode AAS berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Misalkan natrium menyerap pada 589 nm, uranium pada 358,5 nm, sedangkan kalium pada 766,5 nm. Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom. Transisi elektronik suatu unsur bersifat spesifik. Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu atom pada keadaan dasar dinaikkan tingkat energinya ke tingkat eksitasi. Tingkat-tingkat eksitasinya pun bermacam-macam. Misalkan unsur Na dengan nomor atom 11 mempunyai konfigurasi elektron 1s2 2s2 sp6 3s1, tingkat dasar untuk elektron valensi 3s, artinya tidak memiliki kelebihan energi. Elektron ini dapat tereksitasi ke tingkat 3p degan energi 2,2 eV ataupun ke tingkat 4p dengan energi 3,6 eV, masing-masing sesuai dengan panjang gelombang sebesar 589 nm dan 330 nm. Kita dapat memilih di antara panjang gelombang ini yang menghasilkan garis spektrum yang tajam dan dengan intensitas maksimum. Inilah yang dikenal dengan garis resonansi. Spektrum atomik untuk masing-masing unsur terdiri atas garis-garis resonansi. Garis-garis lain yang bukan garis resonansi dapat berupa spektrum yang berasosiasi dengan tingkat energi molekul, biasanya berupa pita-pita lebar ataupun garis tidak berasal dari eksitasi tingkat dasar yang disebabkan proses atomisasinya (Khopkar, 2003)

Spektra absorpsinya lebih sederhana dibandingkan dengan spektra molekulnya karena keadaan energi elektronik tidak mempunyai sub tingkatan vibrasi-rotasi. Jadi spektra absorpsi atom terdiri dari garis-garis yang jauh lebih tajam daripada pita-pita yang diamati dalam spektroskopi molekuler. Absorpsi atom telah dikenal bertahun-tahun yang lalu. Misalnya garis-garis gelap pada frekuensi tertentu dalam spektrum matahari yang tanpa garis itu akan kontinu, pertama kali diperhatikan oleh Wollaston dalam tahun 1802; garis-garis ini ditemukan ulang dan dipelajari lebih mendalam oleh Joseph von Fraunhofer, dan diberi nama garis-garis Fraunhofer. Pentingnya garis-garis ini baru dipahami pada tahun 1859, ketika Kirchhoff menerangkan asal-usulnya setelah mengamati gejala yang serupa di laboratorium. Permukaan matahari yang tampak jauh lebih panas daripada selimut gas yang mengitarinya, dan atom-atom dalam atmosfer itu menyerap frekuensi-frekuensi yang khas dari dalam kontinum pancaran dari permukaan yang lebih panas. Kirchhoff dan yang lain-lainnya, terutama Busen (yang terkenal dengan pembakarnya itu), mengidentifikasi sejumlah unsur dalam atmosfer matahari dengan membandingkan frekuensi garis-garis Fraunhofer dengan frekuensi garis dari unsur-unsur yang dikenal di laboratorium (Underwood, 1986).

Sumber:
Bassett, J., R.C. Denney, G.H. Jeffery, dan J. Mendham, 1994, Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Day, R.A dan Underwood, A.L., 1986, Analisis Kimia Kuantitatif, Erlangga, Jakarta.
Khopkar, S.M., 2003, Konsep Dasar Kimia Analitik, UI Press, Jakarta.

Jimmy Ahyari
Jimmy Ahyari
Seorang apoteker yang juga menyukai dunia internet dan teknologi informasi. Just google my name. 🤣
Continue Reading

Disclaimer: Artikel yang terdapat di situs ini hanya bertujuan sebagai informasi, dan bukan sebagai referensi utama atau pengganti saran/tindakan dari profesional.

error: