Antihipertensi (Part 1)

Apoteker.Net – Menurunkan tekanan darah yang meningkat dapat menurunkan frekuensi stroke, kejadian koroner, gagal jantung, dan gagal ginjal. Kemungkinan penyebab hipertensi (misalnya penyakit ginjal, penyebab endokrin), faktor pendukung, faktor risiko, dan adanya beberapa komplikasi, seperti hipertrofi ventrikel kiri harus ditegakkan. Pasien sebaiknya disarankan untuk merubah gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah maupun risiko kardiovaskuler; termasuk menghentikan merokok, menurunkan berat badan, mengurangi konsumsi alkohol yang berlebih, mengurangi konsumsi garam, menurunkan konsumsi lemak total dan jenuh, meningkatkan latihan fisik (olahraga), dan meningkatkan konsumsi sayur dan buah. Hipertensi pada anak dan remaja memberikan pengaruh yang besar pada kesehatannya di masa dewasa.

Hipertensi

Hipertensi berat jarang terjadi pada neonatus namun dapat muncul dengan gejala gagal jantung kongesti dengan penyebab yang paling sering adalah gangguan ginjal dan dapat juga diikuti dengan kerusakan emboli arteri.

Indikasi antihipertensi pada anak-anak meliputi hipertensi simtomatik, hipertensi sekunder, kerusakan organ utama yang disebabkan oleh hipertensi, diabetes melitus, hipertensi yang menetap meskipun sudah mengubah gaya hidup, hipertensi paru. Efek pengobatan dengan antihipertensi pada pertumbuhan dan perkembangan anak-anak belum diketahui; pengobatan dapat diberikan hanya apabila manfaat pemberian diketahui dengan pasti.

Obat yang digunakan untuk terapi hipertensi. Pemilihan obat antihipertensi bergantung pada indikasi maupun kontraindikasi yang sesuai untuk pasien; beberapa indikasi dan kontraindikasi dari berbagai obat antihipertensi adalah sebagai berikut (lihat juga pada monografi setiap obat berikut untuk informasi lebih lengkap):

  • Tiazid (lihat bagian 2.2.1)–terutama diindikasikan untuk hipertensi pada lansia (lihat keterangan di bawah); kontraindikasi pada gout.
  • Beta bloker (lihat bagian 2.3.4)–meskipun tidak lagi disukai untuk pengobatan awal hipertensi tanpa komplikasi, indikasi yang lain meliputi infark miokard, angina; kontraindikasi meliputi asma, blokade jantung.
  • Penghambat ACE (lihat bagian 2.3.5)–indikasi meliputi gagal jantung, disfungsi ventrikel kiri dan nefropati akibat diabetes; kontraindikasi meliputi penyakit renovaskular (lihat bagian 2.3.5) dan kehamilan.
  • Antagonis reseptor angiotensin II (lihat bagian 2.5.5.2) merupakan alternatif untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi penghambat ACE karena efek samping batuk kering yang menetap, namun antagonis reseptor Angiotensin II mempunyai beberapa kontraindikasi yang sama dengan penghambat ACE.
  • Antagonis kalsium. Terdapat perbedaan yang penting antara berbagai antagonis kalsium (lihat bagian 2.4.2). Antagonis kalsium dihidropiridin bermanfaat dalam hipertensi sistolik pada lansia apabila tiazid dosis rendah dikontraindikasikan atau tidak dapat ditoleransi (lihat keterangan di bawah). Antagonis kalsium “penggunaan terbatas” (misalnya diltiazem, verapamil) mungkin bermanfaat pada angina; kontraindikasi meliputi gagal jantung dan blokade jantung.
  • Alfa bloker (lihat bagian 2.3.3)–indikasi yang mungkin adalah prostatism; kontraindikasi pada inkontinensia urin.

Kelas terapi obat yang dapat digunakan pada anak-anak dengan hipertensi meliputi penghambat ACE (lihat bagian 2.3.5), alfa bloker (lihat bagian 2.3.3), beta bloker (lihat bagian 2.3.4), antagonis kalsium (lihat bagian 2.4.2), dan diuretika (lihat bagian 2.2). Informasi mengenai penggunaan antagonis reseptor angiotensin II pada anak-anak masih terbatas. Diuretika dan beta bloker mempunyai riwayat efikasi dan keamanan yang cukup pada anak-anak. Obat antihipertensi generasi terbaru, meliputi penghambat ACE dan antagonis kalsium telah diketahui aman dan efektif pada studi jangka pendek pada anak-anak. Pada hipertensi yang sulit diatasi dapat diberikan tambahan obat seperti minoksidil (lihat bagian 2.3.1) atau klonidin (lihat bagian 2.3.7).

Obat antihipertensi tunggal seringkali tidak cukup dan obat antihipertensi yang lain biasanya ditambahkan secara bertahap sampai hipertensi dapat dikendalikan. Kecuali apabila diperlukan penurunan tekanan darah dengan segera, diperlukan interval waktu pemberian sekurang-kurangnya 4 minggu untuk menentukan respons.

Terapi antihipertensi pada anak-anak sebaiknya dimulai dengan terapi tunggal dalam dosis terendah dari dosis yang dianjurkan; lalu ditingkatkan sampai tekanan darah yang diinginkan sudah tercapai. Apabila dosis tertinggi dari dosis anjuran sudah digunakan, atau segera setelah pasien mengalami efek samping obat, antihipertensi yang lain dapat ditambahkan apabila tekanan darah belum dapat dikendalikan. Apabila diperlukan lebih dari satu jenis obat antihipertensi, sebaiknya yang diberikan adalah produk yang terpisah (tidak dalam satu sediaan) karena pengalaman dokter spesialis anak dalam menggunakan produk kombinasi tetap masih terbatas.

Respons pengobatan dengan obat antihipertensi dapat dipengaruhi oleh usia pasien dan latar belakang suku (etnis). Penghambat ACE maupun antagonis reseptor angiotensin II kemungkinan merupakan obat awal yang paling sesuai pada pasien Kaukasian muda. Pasien Afro-Karibia dan pasien yang berusia lebih dari 55 tahun mempunyai respon yang kurang baik terhadap obat-obat ini dan tiazid maupun antagonis kalsium merupakan pilihan untuk pengobatan awal.

Untuk pengobatan rutin hipertensi tanpa komplikasi, beta bloker sebaiknya dihindari pada pasien dengan diabetes, atau pada pasien dengan risiko tinggi menderita diabetes, terutama apabila beta bloker dikombinasikan dengan diuretika tiazid.

Pada keadaan dimana dua obat antihipertensi diperlukan, penghambat ACE atau antagonis reseptor angiotensin II dapat dikombinasikan dengan tiazid atau antagonis kalsium. Apabila pemberian 2 jenis obat masih belum dapat mengontrol tekanan darah, tiazid dan antagonis kalsium dapat ditambahkan. Penambahan alfa bloker, spironolakton, diuretika yang lain maupun beta-bloker sebaiknya dipertimbangkan pada hipertensi yang resisten. Pada pasien dengan hiperaldosteronisme primer digunakan, spironolakton (bagian 2.5.3).

Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko kardiovaskuler

Asetosal (bagian 2.7) dengan dosis 75 mg sehari menurunkan risiko kejadian kardiovaskuler dan infark miokard. Tekanan darah yang terlalu tinggi harus dikendalikan sebelum pemberian asetosal. Bila tidak ada kontraindikasi, asetosal dianjurkan untuk semua pasien dengan penyakit kardiovaskuler atau pasien dengan risiko mengalami penyakit kardiovaskuler 10 tahun ke depan sebesar 20% atau lebih dan berusia lebih dari 50 tahun. Asetosal juga bermanfaat pada pasien dengan diabetes (lihat juga bagian 2.7).

Pada anak-anak, peningkatan risiko terjadinya perdarahan dan sindrom Reye perlu dipertimbangkan.

Obat hipolipidemik dapat bermanfaat juga pada penyakit kardiovaskuler atau pada pasien dengan risiko tinggi mengalami penyakit kardiovaskuler (lihat bagian 2.10). Statin dapat bermanfaat pada anak-anak yang lebih tua dengan risiko tinggi terkena penyakit kardiovaskuler dan memiliki hiperkolesterolemia.

HIPERTENSI PADA LANSIA

Manfaat pengobatan dengan antihipertensi terbukti hingga usia 80 tahun, namun pada saat memutuskan penggunaan suatu obat tidak tepat apabila berdasarkan pembatasan usia. Pada lansia yang nampak sehat, apabila mengalami hipertensi tekanan darahnya harus diturunkan. Ambang batas pengobatan adalah tekanan darah diastolik rata-rata ? 90 mmHg atau tekanan darah sistolik rata-rata ?160 mmHg setelah pengamatan selama lebih dari 3-6 bulan (meskipun telah menjalani terapi tanpa obat).

Pasien yang mencapai usia 80 tahun pada saat pengobatan dengan antihipertensi sebaiknya tetap melanjutkan pengobatan. Tiazid dosis rendah merupakan obat pilihan pertama, bila perlu dengan tambahan antihipertensi lainnya.

HIPERTENSI SISTOLIK TERISOLASI

Hipertensi sistolik terisolasi (tekanan darah sistolik ?160 mmHg, tekanan darah diastolik < 90 mmHg) menyebabkan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskuler, terutama pada pasien usia di atas 60 tahun. Tekanan darah sistolik rata-rata 160 mmHg atau lebih tinggi selama lebih dari 3-6 bulan (meskipun telah menjalani terapi tanpa obat) harus diturunkan pada pasien berusia diatas 60 tahun, sekalipun hipertensi diastolik tidak ada.

Pengobatan dengan pemberian tiazid dosis rendah, bila perlu dengan tambahan beta bloker, memberikan hasil yang efektif. Antagonis kalsium dihidropiridin kerja panjang dianjurkan apabila tiazid dikontra-indikasikan atau tidak dapat ditoleransi. Pasien dengan hipertensi postural yang parah tidak boleh menerima obat-obat antihipertensi.

HIPERTENSI PADA DIABETES

Untuk pasien diabetes, tujuan terapi adalah untuk menjaga tekanan darah sistolik <130 mmHg dan tekanan darah diastolik <80 mmHg. Meskipun demikian, pada beberapa pasien, mungkin tidak dapat dicapai tahap ini meskipun sudah mendapat pengobatan yang tepat. Kebanyakan pasien memerlukan obat antihipertensi kombinasi. Hipertensi umumnya terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dan pengobatan dengan antihipertensi mencegah komplikasi makro dan mikrovaskuler.

Pada diabetes tipe 1, hipertensi biasanya menandakan adanya nefropati akibat diabetes. Penghambat ACE (atau antagonis reseptor angiotensin II) mempunyai peranan khusus pada tatalaksana nefropati akibat diabetes; pada pasien diabetes tipe 2, penghambat ACE (atau antagonis reseptor angiotensin II) dapat menunda perkembangan kondisi mikroalbuminuria menjadi nefropati.

Penghambat ACE dapat dipertimbangkan penggunaannya untuk anak-anak dengan diabetes dan mikroalbuminemia atau penyakit ginjal proteinuria.

HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL

Ambang batas untuk pengobatan dengan antihipertensi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau proteinuria yang menetap adalah tekanan darah sistolik ?140 mmHg atau tekanan darah diastolik ?90 mmHg. Tekanan darah optimal adalah tekanan darah sistolik <130 mmHg dan tekanan darah diastolik <80 mmHg, atau lebih rendah jika proteinuria lebih dari 1 g dalam 24 jam. Tiazid kemungkinan tidak efektif dan diperlukan dosis tinggi diuretika kuat. Peringatan khusus untuk penggunaan penghambat ACE pada gangguan fungsi ginjal, lihat bab 2.3.5, namun penghambat ACE dapat efektif. Antagonis kalsium dihidropiridin dapat juga ditambahkan.

HIPERTENSI PADA KEHAMILAN

Tekanan darah tinggi pada kehamilan dapat disebabkan hipertensi esensial sebelum hamil atau pre-eklamsia. Metildopa (2.3.7) aman pada kehamilan. Beta bloker efektif dan aman pada trimester ketiga. Pemberian intravena labetalol dapat digunakan untuk mengendalikan krisis hipertensi; sebagai alternatif, hidralazin dapat digunakan secara intravena. Penggunaan magnesium sulfat pada pre-eklamsia dan eklamsia lihat bab 9.4.1.3.

HIPERTENSI YANG MENINGKAT CEPAT ATAU HIPERTENSI YANG SANGAT BERAT

Hipertensi yang meningkat cepat (atau maligna) atau hipertensi yang sangat berat (misalnya tekanan darah diastolik >140 mmHg) memerlukan pengobatan segera di rumah sakit, namun kondisi tersebut bukan merupakan indikasi terapi antihipertensi parenteral. Pengobatan yang lazim sebaiknya secara oral dengan beta bloker (misalnya atenolol atau labetalol) atau antagonis kalsium kerja panjang (misalnya amlodipin). Dalam 24 jam pertama, tekanan darah diastolik sebaiknya turun sampai dengan 100–110 mmHg.

Kemudian pada 2 sampai 3 hari selanjutnya tekanan darah sebaiknya diturunkan sampai normal dengan menggunakan beta bloker, antagonis kalsium, diuretika, vasodilator, atau penghambat ACE. Penurunan tekanan darah yang sangat cepat dapat mengurangi perfusi organ yang dapat menyebabkan infark serebral dan kebutaan, fungsi ginjal memburuk, dan iskemia miokard. Jarang diperlukan antihipertensi parenteral; infus natrium nitroprusid merupakan obat pilihan pada saat diperlukan pengobatan secara parenteral (kondisi yang jarang terjadi).

HIPERTENSI EMERGENSI

Pada anak-anak, hipertensi emergensi disertai dengan tanda-tanda seperti ensefalopati hipertensi, termasuk kejang. Penting untuk memantau penurunan tekanan darah selama 72-96 jam. Cairan infus mungkin diperlukan terutama selama 12 jam pertama untuk menambah volume plasma apabila tekanan darah turun terlalu cepat. Pengobatan secara oral sebaiknya dimulai segera setelah tekanan darah sudah terkendali.

Penurunan tekanan darah yang terkendali dapat dicapai melalui pemberian infus intravena labetalol (lihat bagian 2.4.3) atau natrium nitroprusid (lihat bagian 2.3.1). Esmolol (lihat bagian 2.4.3) bermanfaat untuk penggunaan jangka pendek dan mempunyai masa kerja singkat. Pada kasus berat yang jarang terjadi, dapat digunakan nifedipin dengan bentuk sediaan kapsul.

2.3.1 Vasodilator

Obat jenis ini merupakan obat yang poten terutama jika dikombinasi dengan beta bloker dan tiazid.

Penting: hati-hati terhadap bahaya penurunan tekanan darah yang sangat cepat. Lihat 2.3.

Diazoksid juga digunakan melalui injeksi intravena pada keadaan kedaruratan hipertensi; tapi pada anak bukan merupakan terapi lini pertama.

Hidralazin yang diberikan secara oral merupakan tambahan yang berguna pada antihipertensi lain, namun jika digunakan secara tunggal dapat menyebabkan takikardia dan retensi cairan. Kejadian efek samping dapat dikurangi jika dosis dipertahankan dibawah 100 mg per hari, tetapi perlu diduga adanya lupus eritematosus sistemik jika terjadi penurunan berat badan, artritis atau penyakit lain yang tidak dapat dijelaskan.

Natrium nitroprusid diberikan melalui infus intravena untuk mengendalikan krisis hipertensi berat jika diperlukan terapi parenteral.

Pada anak, pada dosis rendah obat ini mengurangi resistensi vaskular sistemik dan meningkatkan curah jantung. Pada dosis tinggi dapat menyebabkan hipotensi berlebihan. Oleh karena itu pemantauan tekanan darah harus dilakukan secara terus-menerus. Natrium nitroprusid dapat digunakan untuk pengendalian hipotensi paradoks sesudah pembedahan koarktasio aorta.

Minoksidil hanya digunakan sebagai terapi cadangan untuk hipertensi berat yang resisten terhadap obat lain. Vasodilatasi disertai dengan peningkatan curah jantung dan takikardia, dan pasien dapat mengalami retensi cairan. Oleh karena itu, harus ditambahkan beta bloker dan diuretika (biasanya furosemid dosis tinggi). Obat ini tidak cocok diberikan pada wanita karena menimbulkan hipertrikosis.

Prazosin, doksazosin, dan terazosin (2.3.3) memiliki sifat menghambat reseptor alfa dan vasodilator.

Iloprost diindikasikan untuk hipertensi paru dan harus digunakan di bawah pengawasan dokter spesialis.

Monografi

BERAPROST

Indikasi:
hipertensi paru primer; perbaikan tukak, nyeri dan rasa dingin yang disebabkan oleh oklusi arteri kronik.

Peringatan:
meningkatkan risiko perdarahan pada kondisi menstruasi; pengobatan sebaiknya dihentikan jika terjadi efek samping yang bermakna secara klinis; lansia; menyusui; anak.

Interaksi:
meningkatkan risiko perdarahan pada penggunaan bersama dengan antikoagulan (misal warfarin), antiplatelet (misal asetosal, tiklopidin), fibrinolitik (misal urokinase); peningkatan efek penurunan tekanan darah pada penggunaan bersama dengan golongan prostaglandin I2.

Kontraindikasi:
perdarahan; kehamilan.

Efek Samping:
perdarahan, syok, pneumonia interstisial, gangguan fungsi hati, angina pektoris, infark miokard, reaksi hipersensitivitas, sakit kepala, pusing, hot flushes, diare, mual, nyeri abdomen, anoreksia, peningkatan bilirubin, AST, ALT, LDH, trigliserida.

Dosis:
hipertensi paru primer: dosis awal, 60 mcg sehari dalam 3 dosis terbagi, sesudah makan, dapat ditingkatkan hingga maksimum 180 mcg sehari dalam 3-4 dosis terbagi; perbaikan tukak, nyeri dan rasa dingin yang disebabkan oleh oklusi arteri kronik: Dewasa, dosis lazim 120 mcg sehari dalam 3 dosis terbagi.

HIDRALAZIN HIDROKLORIDA

Indikasi:
hipertensi sedang hingga berat (sebagai terapi tambahan); gagal jantung (dengan nitrat kerja panjang, tapi kombinasi ini sering tidak dapat ditoleransi); krisis hipertensi (sebagai terapi alternatif pada kehamilan).

Peringatan:
gangguan fungsi hati (lampiran 2); gangguan fungsi ginjal (lampiran 3); penyakit arteri koroner (dapat menyebabkan angina, hindari penggunaannya setelah infark miokard, tunggu hingga stabil), penyakit serebrovaskular; kadang, menyebabkan penurunan tekanan darah terlalu cepat walaupun pada dosis rendah; kehamilan (lampiran 4); menyusui (lampiran 5).

Interaksi:
lihat lampiran 1 (hidralazin)

Kontraindikasi:
lupus eritematosus sistemik idiopatik, takikardia berat, gagal jantung curah tinggi, insufisiensi miokard akibat obstruksi mekanik, cor pulmonale, aneurism aorta, porfiria.

Efek Samping:
takikardi, palpitasi, wajah memerah, hipotensi, retensi cairan, gangguan saluran cerna, sakit kepala, pusing, sindroma seperti lupus eritematosus sistemik setelah penggunaan jangka panjang dengan dosis lebih dari 100 mg per hari (atau dengan dosis yang lebih rendah pada wanita dan individu dengan asetilator lambat); jarang terjadi: kulit kemerahan, demam, neuritis perifer, polineuritis, parestesia, artralgia, mialgia, lakrimasi yang meningkat, kongesti nasal, dispnea, agitasi, ansietas, anoreksia; ada laporan gangguan darah (termasuk leukopenia, trombositopenia, anemia hemolitik), abnormalitas fungsi hati, jaundice, kreatinin plasma meningkat, proteinuria dan hematuria.

Dosis:

  • Oral, hipertensi, 25 mg dua kali sehari, dapat ditingkatkan hingga maksimal 50 mg dua kali sehari; gagal jantung (dosis awal dilakukan di rumah sakit) 25 mg 3-4 kali sehari, jika diperlukan dosis dapat ditingkatkan setiap 2 hari; dosis penunjang lazim 50-75 mg empat kali sehari.
  • Injeksi intravena lambat, hipertensi dengan komplikasi ginjal dan krisis hipertensi, 5-10 mg diencerkan dengan 10 mL NaCl 0,9%; dapat diulangi setelah 20-30 menit (lihat peringatan).
  • Infus intravena, hipertensi dengan komplikasi ginjal dan krisis hipertensi, dosis awal 200-300 mcg/menit; dosis penunjang 50-150 mcg/menit.

ILOPROST

Indikasi:
hipertensi paru primer atau sekunder yang disebabkan penyakit jaringan ikat (connective tissue disease) atau akibat obat, pada tahap sedang sampai berat. Sebagai tambahan, pengobatan hipertensi paru yang disebabkan tromboembolisme paru kronik yang tidak bisa dilakukan pembedahan.

Peringatan:
hipertensi paru tidak stabil dengan gagal jantung kanan yang lanjut; hipotensi (jangan dimulai pemberian obat jika tekanan sistolik di bawah 85 mmHg), infeksi paru akut, kerusakan hati, gagal ginjal yang memerlukan dialisis.

Interaksi:
heparin, kumarin, asam asetilsalisilat, AINS, tiklodipin, klopidogrel dan glikoprotein IIb/IIIa antagonis (absiksimab, eftifibatid dan tirofiban).

Kontraindikasi:
kehamilan dan menyusui (lihat lampiran 2), kondisi yang akan meningkatkan resiko pendarahan (tukak lambung aktif, trauma, perdarahan intrakranial), angina tidak stabil atau penyakit jantung koroner berat, infark miokard dalam 6 bulan terakhir, gagal jantung dekompensasi (kecuali jika di bawah pengawasan dokter), aritmia berat, kongesti paru, kejadian serebrovaskular dalam 3 bulan terakhir (serangan iskemik transien atau stroke), hipertensi paru akibat penyakit oklusif vena, kelainan katup jantung kongenital atau yang didapat dengan gejala klinis fungsi miokard yang relevan namun tidak terkait dengan hipertensi paru, hipersensitif.

Efek Samping:
sangat umum: sakit kepala, vasodilatasi, peningkatan batuk, mual, nyeri rahang/trismus; umum: pusing, hipotensi, sinkop, dispnea, diare, muntah, iritasi mulut dan lidah, ruam kulit, nyeri punggung; frekuensi tidak diketahui: hipersensitivitas, bronkospasme/wheezing, disgeusia.

Dosis:
melalui inhalasi: 2,5–5 mcg, 6–9 kali sehari, dapat ditambah tergantung respon dan tolerabilitas.

MINOKSIDIL

Indikasi:
hipertensi berat, sebagai tambahan pada terapi diuretika dan beta bloker.

Peringatan:
lihat keterangan diatas; angina; setelah infark miokard (tunggu hingga stabil); dosis rendah pada pasien dialisis; porfiria; kehamilan (lampiran 4).

Interaksi:
lihat lampiran 1 (minoksidil).

Kontraindikasi:
feokromositoma.

Efek Samping:
retensi cairan dan natrium, berat badan meningkat, edema perifer, takikardi, hipertrikosis, peningkatan kreatinin yang reversibel; kadang-kadang, gangguan saluran cerna, payudara menegang, kulit kemerahan.

Dosis:
Dosis awal 5 mg (lansia, 2,5 mg), dalam 1-2 dosis, ditingkatkan menjadi 5-10 mg setiap 3 hari atau lebih; maksimal 50 mg sehari.

NATRIUM NITROPRUSID

Indikasi:
krisis hipertensi, untuk mendapatkan penurunan tekanan darah yang terkontrol pada anestesi; gagal jantung kronik atau akut.

Peringatan:
hipotiroidism, hiponatremia, penyakit jantung iskemik, sirkulasi serebral yang terganggu, lansia, hipotermia, monitor tekanan darah dan kadar sianida dalam darah, jika terapi berlangsung lebih dari 3 hari, juga perlu dimonitor kadar tiosianat dalam darah; hindari penghentian secara mendadak – hentikan infus selama 15-30 menit; gangguan fungsi hati (lampiran 2), gangguan fungsi ginjal (lampiran 3); kehamilan (lampiran 4); menyusui (lampiran 5).

Interaksi:
lihat lampiran 1 (nitroprusid).

Kontraindikasi:
defisiensi vitamin B12 berat, atropi optik Leber; hipertensi sekunder.

Efek Samping:
disebabkan oleh pengurangan tekanan darah yang terjadi secara cepat (kurangi kecepatan infus): sakit kepala, pusing, mual, muntah-muntah, nyeri lambung, berkeringat, palpitasi, rasa was-was, rasa tidak nyaman pada bagian retrosternal; jarang terjadi: penurunan jumlah platelet, flebitis transien akut.

Dosis:
Krisis hipertensi, secara infus intravena, dosis awal 0,5-1,5 mcg/kg bb/menit, kemudian ditingkatkan bertahap 500 nanogram/kg bb/menit setiap 5 menit dalam kisaran 0,5-8 mcg/kg bb/menit (dosis lebih rendah jika sudah mendapat antihipertensi lain); penggunaan dihentikan jika dalam 10 menit, respons tidak memuaskan dengan dosis maksimal. Telah digunakan dosis awal lebih rendah 300 nanogram/kg bb/menit; menjaga tekanan darah diastolik 30-40% lebih rendah dari sebelum terapi, 20-400 mcg/menit (dosis lebih rendah untuk pasien yang sudah mendapat antihipertensi lain); mengontrol hipotensi saat pembedahan, dengan infus intravena, maksimal 1,5 mcg/kg bb/menit; gagal jantung, dengan infus intravena, dosis awal 10-15 mcg/menit, ditingkatkan setiap 5-10 menit sesuai kebutuhan; dosis lazim 10-200 mcg/menit, maksimal 3 hari.

2.3.2 Penghambat saraf adrenergik

Obat golongan ini bekerja dengan cara mencegah pelepasan noradrenalin dari saraf adrenergik pasca ganglion. Obat-obat golongan ini tidak mengendalikan tekanan darah pada posisi berbaring dan dapat menyebabkan hipotensi postural. Karena itu, obat-obat ini sudah jarang sekali digunakan, tetapi mungkin masih diperlukan bersama terapi lain pada hipertensi yang resisten. Jarang digunakan pada anak-anak.

Monografi

RESERPIN

Indikasi:
hipertensi ringan sampai sedang.

Peringatan:
ulkus peptik; kolitis ulserativa; asma bronkial; kehamilan dan menyusui; usia lanjut.

Kontraindikasi:
depresi; gagal ginjal berat.

Efek Samping:
depresi (sampai bunuh diri) akibat dosis yang terlalu tinggi; atau akibat akumulasi dari penggunaan setiap hari untuk jangka waktu lama (waktu paruhnya 1-2 minggu); bronkospasme; eksaserbasi gagal jantung kongestif atau tercetusnya gagal jantung yang laten; gejala-gejala ekstrapiramidal (parkinsonisme, diskinesia, distonia); memburuknya ulkus peptikum; mengantuk di siang hari, gangguan tidur di malam hari, mimpi buruk; berat badan naik (nafsu makan bertambah, retensi cairan); kongesti nasal; dispepsia; kehilangan libido dan impotensi; menstruasi tidak teratur, amenorea, galaktorea.

Dosis:
0,05-0,10 mg sebagai obat lini kedua yang ditambahkan 1-2 minggu setelah pemberian tiazid/diuretika sebagai obat lini pertama. Sebagai dosis awal dapat digunakan 0,25 mg selama 1 minggu.

2.3.3 Alfa-bloker

Doksazosin dan prazosin menghambat reseptor alfa pasca sinaptik dan menimbulkan vasodilatasi, namun jarang menyebabkan takikardi. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan cepat setelah dosis pertama, sehingga harus hati-hati pada pemberian pertama. Peindoramin dan terazosin memiliki sifat yang serupa prazosin. Untuk pengobatan hipertensi yang resisten, alfa bloker dapat digunakan bersama obat antihipertensi lain.

Monografi

DOKSAZOSIN

Indikasi:
Hiperplasia prostat jinak pada pasien yang memiliki riwayat hipertensi maupun tekanan darah normal.

Peringatan:
Hipotensi postural/syncope, penggunaan bersama penghambat PDE-5, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, mengemudi atau mengoperasikan mobil, kondisi penyempitan saluran cerna yang berat, komplikasi Intraoperative Floppy Iris Syndrome pada operasi katarak.

Interaksi:
Obat hipertensi lain seperti terazosin dan prazosin, lihat lampiran 1 (alfa bloker).

Kontraindikasi:
Usia <16 tahun, hipersensitivitas terhadap doksazosin, quinazolin, sumbatan pada saluran pencernaan, hiperplasia prostat jinak dengan riwayat hipotensi, pasien dengan riwayat hipotensi ortostatik, penyempitan atau penyumbatan dalam saluran kemih, infeksi saluran kemih yang sudah berlangsung lama, batu kandung kemih, dan inkontinensi luapan atau anuria dengan atau tanpa masalah ginjal.

Efek Samping:
Serangan jantung, kelemahan pada lengan dan kaki atau kesulitan berbicara (gejala stroke), pembengkakan pada wajah, lidah, atau tenggorokan yang merupakan reaksi alergi, nyeri dada, angina, napas pendek, sulit bernapas, napas berbunyi, denyut jantung meningkat/menurun atau tidak beraturan, palpitasi, kemerahan atau gatal-gatal pada kulit, pingsan, kekuningan pada kulit atau mata, rendahnya jumlah sel darah putih atau trombosit.

Umum: vertigo, sakit kepala, tekanan darah rendah, pembengkakan pada kaki, tumit, atau jari-jari, bronkitis, batuk, infeksi saluran napas, hidung tersumbat, bersin, hidung berair, nyeri lambung/abdominal, infeksi saluran kemih, inkontinensi urin, mengantuk, perasaan lemah, gangguan pencernaan, nyeri ulu hati, mulut kering, nyeri punggung, nyeri otot, gejala menyerupai pilek.

Tidak umum: konstipasi, kembung, radang lambung dan usus yang menyebabkan diare dan muntah-muntah, nyeri atau merasa tidak nyaman ketika buang air kecil, buang air kecil lebih sering dari biasanya, adanya darah pada urin, radang pada persendian, nyeri persendian, nyeri umum, kurang tidur, gelisah, depresi, berkurang atau berubahnya rasa sentuhan atau sensasi pada tangan dan kaki, peningkatan nafsu makan atau hilangnya nafsu makan, berat badan naik, mimisan, telinga berdenging, tremor, kegagalan/ketidakmampuan mencapai ereksi penis, uji laboratorium abnormalitas fungsi hati.

Sangat jarang: pingsan atau limbung akibat tekanan darah ketika bangkit berdiri dari posisi duduk atau berbaring, hepatitis atau gangguan empedu, urtikaria, kerontokan rambut, bercak merah atau ungu pada kulit, perdarahan di bawah kulit, kesemutan atau kekebasan pada tangan dan kaki, agitasi, kegelisahan, kelelahan, kram otot, lemah otot, pandangan kabur, wajah memerah, gangguan buang air kecil, buang air kecil di malam hari, peningkatan volume urin yang dikeluarkan, peningkatan produksi urin sehingga lebih sering buang air kecil, ketidaknyamanan atau pembesaran payudara pada pria, ereksi penis yang menetap dan terasa sakit.

Frekuensi tidak diketahui: sperma yang diejakulasikan saat klimaks seksual menjadi sedikit atau tidak ada, urin keruh setelah klimaks seksual, masalah mata yang dapat timbul selama bedah mata untuk katarak.

Dosis:
Hipertensi. 1 mg sehari, ditingkatkan setelah 1-2 minggu menjadi 2 mg sekali sehari, kemudian 4 mg sekali sehari, bila perlu. Maksimal 16 mg sehari. Hiperplasia prostat jinak (lihat 7.4.1).

Tablet pelepasan termodifikasi: 4 mg sehari, tablet ditelan utuh dan jika perlu dosis dapat ditingkatkan setelah 4 minggu menjadi 8 mg sehari.

INDORAMIN

Indikasi:
hipertensi; hiperplasia prostat ringan.

Peringatan:
hindari alkohol (meningkatkan kecepatan dan besarnya absorpsi); mengendalikan gagal jantung yang baru mulai dengan diuretika dan digoksin; gangguan hati atau ginjal; pasien usia lanjut; penyakit parkinson; epilepsi (kejang pada percobaan hewan); riwayat depresi.

Interaksi:
lihat lampiran 1 (alfa bloker).

Kontraindikasi:
gagal jantung; pasien yang menerima MAOI.

Efek Samping:
sedasi; juga pusing, depresi, gagal ejakulasi, mulut kering, kongesti nasal, efek ekstrapiramidal, kenaikan bobot badan.

Dosis:
hipertensi, awalnya 25 mg 2 kali sehari, ditingkatkan 25-50 mg sehari dengan interval 2 minggu; dosis maksimal sehari 200 mg dalam 2-3 dosis terbagi.

PRAZOSIN HIDROKLORIDA

Indikasi:
hipertensi; sindrom Raynaud; gagal jantung kongestif; hiperplasia prostat jinak.

Peringatan:
dosis pertama dapat menyebabkan kolaps karena hipotensi (karena itu harus diminum sebelum tidur); usia lanjut; kurangi dosis awal pada gangguan ginjal; gangguan hati; kehamilan dan menyusui.

Interaksi:
lihat lampiran 1 (alfa bloker).

Kontraindikasi:
tidak disarankan untuk gagal jantung kongestif akibat obstruksi mekanik (misal stenosis aortik).

Efek Samping:
hipotensi postural, mengantuk, lemah, pusing, sakit kepala, tidak bertenaga, mual, palpitasi, sering kencing, inkontinesia dan priapismus.

Dosis:
hipertensi, 0,5 mg 2-3 kali sehari selama 3-7 hari, dosis awal diberikan sebelum tidur; tingkatkan sampai 1 mg 2 – 3 kali sehari setelah 3-7 hari; bila perlu tingkatkan lebih lanjut sampai dosis maksimal 20 mg sehari.

Gagal jantung kongestif, 0,5 mg 2-4 kali sehari (dosis awal sebelum tidur), tingkatkan sampai 4 mg sehari dalam dosis terbagi Sindroma Raynaud, dosis awal 0,5 mg 2 kali sehari (dosis awal sebelum tidur); bila perlu setelah 3-7 hari ditingkatkan hingga dosis penunjang lazim 1-2 mg 2 kali sehari.

Hiperplasia prostat jinak ( lihat 7.4.1).

TERAZOSIN

Indikasi:
hipertensi ringan sampai sedang; hiperplasia prostat jinak.

Peringatan:
dosis pertama dapat menyebabkan kolaps karena hipotensi (dalam 30-90 menit, karena itu harus diminum sebelum tidur), (juga dapat terjadi dengan peningkatan dosis yang cepat); kehamilan.

Interaksi:
lihat lampiran 1 (alfa-bloker).

Efek Samping:
mengantuk, pusing, tidak bertenaga, edema perifer, sering kencing, dan priapismus.

Dosis:
hipertensi, 1 mg sebelum tidur; bila perlu dosis ditingkatkan menjadi 2 mg setelah 7 hari; dosis penunjang lazim 2-4 mg sekali sehari Hiperplasia prostat jinak (lihat 7.4.1).


Lanjut: Part 2Part 3 , Part 4

Hanya seorang Apoteker biasa; Tidak pintar; Tidak bodoh; -Berbagi tidak Pernah Rugi- :)
Lihat semua tulisan 📑.

error: