“Adakah yang tahu perbedaan antara simpati dan empati”, tanya sang dosen
“Simpati itu rasa prihatin kita dengan kondisi seseorang pak”, jawab salah satu mahasiswa
“Kalau empati apa yaaa???”, kata mahasiswa yang lain
“Empati itu simpati yang disertai dengan tindakan”, tambah sang dosen
“Saat kita melihat teman satu kost belum makan dan kita prihatin dengan kondisinya maka kita sudah bersikap simpati. Namun, simpati saja tidak cukup, perlu ditambah dengan empati. Sesudah kita prihatin dan tahu kondisi teman kost tersebut, maka kita akan berbagi makanan untuk dia agar tidak kelaparan”
Dialog tersebut terjadi di ruang kelas perkuliahan farmasi. Sang dosen mengajarkan agar mahasiswa farmasi memiliki rasa simpati dan empati. Mahasiswa farmasi tidak boleh egois hanya mementingkan dirinya sendiri, acuh tak acuh dengan kondisi sekitarnya.
Pernah suatu kejadian, seorang mahasiswa farmasi tidak mengetahui teman yang kostnya bersebelahah sedang dalam kondisi sakit, bahkan hingga harus di rawat di rumah sakit. Teman satu kost, bukan orang yang jauh. Dia sangat dekat dan selalu berinteraksi setiap hari. Tapi mengapa jadi tidak tahu dia di rawat di rumah sakit?
Rasa simpati dan empati harus dipupuk dan dilatih terus-menerus agar terbiasa memahami dan mengerti dengan kondisi di sekitarnya. Keberadaan mahasiswa farmasi pasti di kelilingi oleh masyarakat. Mahasiswa farmasi harus bisa berbaur dengan masyarakat. Bukan menjadi mahasiswa yang hanya tahu kost, kampus, dan kantin menjadi mahasiswa 3K, kost, kampus, dan kantin.
Sedangkan kondisi di sekelilingnya dia tidak mengetahui. Patut dipertanyakan keberadaan dirinya di tempat tersebut. Semakin bertambahnya perkembangan zaman dan teknologi seakan membuat semua orang acuh tak acuh dengan kondisi sekitarnya.
Lebih parah lagi, saat mahasiswa farmasi tidak mengenali siapa kawan-kawannya di kost. Bagaimana rasa empati itu akan tumbuh jika rasa simpati pun tidak dimiliki?
Simpati itu mudah asalkan kita bisa membuka diri dan berbaur dengan kondisi yang ada di sekeliling kita. Bukan sebaliknya, tertutup dan tidak mau berbaur dengan masyarakat di sekitarnya.
Empati pun kelanjutan dari simpati. Dimana empati adalah bukti konkrit dari simpati yang berubah wujud berubah tindakan atau pelaksanakan dari simpati yang muncul lebih awal.
Mahasiswa harus membiasakan diri untuk bersikap simpati dan empati. Sebab, keduanya tidak akan muncul secara tiba-tiba, diperlukan proses dan pembiasakan diri terlebih dahulu. Simpati dan empati-lah kepada siapapun, baik itu orang yang kita kenal ataupun tidak dikenal.
Jika simpati dan empati sudah dibiasakan sejak kuliah, maka akan sangat mudah menerapkannya jika sudah berpraktik dan bertemu dengan masyarakat luas ketika sudah tidak lagi menjadi mahasiswa.
“Menginginkan dan tidak mengharapkan apa pun untuk diri sendiri dan memiliki simpati yang mendalam untuk orang lain adalah kesucian sejati.” – Ivan Turgenev