Apoteker.Net – Salah satu cara seorang apoteker meng-upgrade ilmu pengetahuan di bidang kefarmasian adalah dengan cara mengikuti seminar. Tak terlepas dari kemajuan teknologi. Sekarang seminar bisa dilaksanakan secara offline ataupun online, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Seminar online nampaknya terlihat praktis, sebab tanpa harus menghadiri dan bisa diikuti dimana saja, asalkan terhubung dengan koneksi internet. Namun, diseminar ini tidak terjadi interaksi dengan banyak apoteker secara langsung. Jika pun berinteraksi hanya sebatas lewat dunia maya.
Sebaliknya, seminar offline memberikan ruang untuk saling berinteraksi secara langsung sekaligus saling bersua dengan kawan-kawan lama yang sudah jarang bertemu, akibat dari sibuknya pekerjaan yang harus dijalani setiap hari.
Terlepas dari memilih seminar online atau offline. Itu menjadi pilihan pribadi apoteker masing-masing. Namun, ada hal unik yang bisa kita perbincangkan bersama-sama terkait seminar offline apoteker yang ber-SKP. SKP merupakan akronim dari satuan kredit partisipasi. Pedoman re-sertifikasi dan penenentuan nilai SKP yang dikeluarkan oleh Komite Farmasi Nasional pada tahun 2014 dijelaskan bahwa SKP adalah ukuran partisipasi atas kegiatan praktik profesi, kegiatan pengabdian, kegiatan pembelajaran berkelanjutan, kegiatan pengembangan ilmu dan kegiatan publikasi ilmiah yang dilakukan oleh apoteker selama kurun waktu berlakunya sertifikat kompetensi.
Dari pengertian SKP di atas ada satu poin yang bisa kita garis bawahi yakni kegiatan pembelajaran berkelanjutan salah satu contohnya adalah seminar. Seminar menjadi sarana untuk pembelajaran berlanjutan bagi apoteker. Jika tidak melakukan pembelajaran berkelanjutan seorang apoteker tidak hanya kehilangan kesempatan untuk meng-upgrade ilmu pengetahuan kefarmasian tetapi juga kehilangan angka SKP yang harus dikumpulkan.
Namun, menjadi sebuah pertanyaan. Apakah tujuan seminar hanya sebatas untuk mengumpulkan SKP pembelajaran ataukah dijadikan sarana untuk meng-upgrade ilmu pengetahuan? Jika hanya sebatas mengumpulkan SKP pembelajaran, muncul kembali pertanyaan seminar tersebut dihadiri atau dibeli?
Kita semua tidak bisa menutup mata. Memang masih ada beberapa cabang atau daerah yang masih melakukan akiivitas “jual beli” SKP. Mereka cukup membayar sekian puluh atau ratus ribu kemudian memperoleh SKP tanpa harus menghadiri sebuah seminar offline. Dari sini, bisa kita tekankan ada dua faktor pencetus yakni penyelenggara dan peserta. Jika penyelenggara dengan tegas tidak mau memperjualbelikan SKP saat hendak melaksanakan seminar offline maka peserta seminar tersebut tidak ada sarana untuk bisa membeli SKP. Secara tidak langsung mereka diminta untuk menghadiri seminar agar bisa memperoleh SKP pembelajaran. Tetapi, karena satu alasan penyelenggara perjualbelian tersebut asal bisa menutup pengeluaran supaya seminar bisa berjalan dengan lancar.
Kasus tersebut menjadikan penyelenggara hanya berorientasi pada keuangan disebabkan rasa khawatir yang berlebih. Jika tidak bertutupi keuangan maka harus kemana lagi kita mencarinya? Mungkin itu salah satu alasan yang sebenarnya bisa dipersiapkan jauh-jauh hari dengan cara mencari sponsor. Sebuah kekhawatiran terkadang merupakan sesuatu yang belum tentu terjadi tetapi lebih dahulu diyakini. Inilah yang harus menjadi evaluasi bersama bagi para penyelenggara seminar apoteker.
Faktor pencetus kedua yakni peserta yakni apoteker. Mereka mencari jalan yang mudah untuk mendapatkan SKP, tidak mau bersusah-susah menghadiri seminar asalkan ada uang, semua beres. Mungkin itulah yang ada dibenak oknum apoteker tersebut yang hanya mau membeli SKP tanpa harus menghadiri seminarnya. Ini bukanlah gambaran sosok seorang apoteker. Apoteker merupakan seorang pembelajar sepanjang hidup, dia akan selalu belajar dan belajar tanpa henti. Dia akan meluangkan waktu dalam sebulan untuk menghadiri seminar offline. Waktu satu bulan masih bisa diluangkan satu atau dua hari untuk mengikuti seminar-seminar kefarmasian. Sungguh, tak bijak jika kita terus menyalahkan pekerjaan-pekerjaan yang menumpuk sehingga tidak ada waktu untuk menghadiri seminar. Kata kuncinya yakni pengaturan waktu. Apoteker harus lebih jeli lagi mengatur waktu agar bisa meng-upgrade ilmu pengetahuan, salah satunya lewat seminar offline.
Jika kedua faktor pencetus tersebut bisa diatasi maka memperkecil terjadinya perjualbelian SKP. SKP bukanlah sebuah beban tetapi SKP dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan kapasitas diri dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, agar diri apoteker terus berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Dihadiri atau dibeli? Ketegasan yang menjadi kunci utama. Ketegasan pada penyelenggara agar tidak melaksanakan perjualbelian SKP dan ketegasan pada peserta agar tidak sebatas membeli SKP tetapi juga menghadiri. Ilmu dan uang memang dua sisi hal yang sangat berbeda. Ketika ilmu dijadikan sebagai orientasi maka tidak hanya keilmuan yang diperoleh tapi keuangan pun akan mengikuti. Sebaliknya, saat uang yang dijadikan orientasi hanya keuangan yang diperoleh tanpa diikuti oleh keilmuan.
Dengan cara apoteker meng-upgrade ilmu pengetahuan kefarmasian terkini, maka secara tidak langsung apoteker juga meng-upgrade cara dia dalam berpraktik. Sebab, dari ilmu pengetahuan tersebut yang akan dikembangkan dalam praktik kefarmasian. Jika praktik kefarmasian ditingkatkan maka tidak menutup kemungkinan keuangan pun akan meningkat. Sejalannya keilmuan dengan keuangan. Namun, keuangan belum tentu sejalan dengan keilmuan.
Bukan zamannya lagi memperjualbelikan SKP. Kita semua harus berubah. Berubah dari diri sendiri, berubah dari hal-hal yang kecil, dan berubah dari sekarang itulah petuah yang disampaikan oleh KH. Abdullah Gymnastiar.
Penyelenggara ataupun peserta yang masih ingin menjalankan aktivitas perjualbelian SKP. Mereka terlupakan sejenak bahwa citra apoteker telah mereka turunkan. Bukan itu sosok seorang apoteker. Apoteker adalah seorang profesional yang sudah dididik sejak sarjana hingga profesi. Dia berani mengatakan tidak untuk sesuatu hal yang memang tidak harus dilakukan dan dia mau mengatakan iya pada sesuatu hal yang memang harus dikerjakan.
Kebaikan itu tampak jelas sebagai kebaikan
Keburukan pun tampak jelas sebagai keburukan
Jangan pernah kita memilih diantara keduanya
Pilihlah kebaikan agar berbuah kebaikan
Jangan pilih keburukan karena akan berbuah pula keburukan