Apoteker “Telur Mata Sapi”

Apakah yang terlintas di dalam pikiran kita saat mendengar istilah telur mata sapi? Iya, makanan atau lauk yang biasanya dimakan bersamaan nasi yang berasal dari telur diolah, dengan berbagai bentuk dan biasanya bagian kuning telurnya ada di tengah-tengah dikelilingi oleh putih telur.

Apapun itu telurnya entah itu dari ayam ataupun bebek, saat diolah menjadi lauk dengan klarifikasi di atas maka akan menjadi telur mata sapi. Mau itu telur ayam, dia akan dibilang telur mata sapi, begitu pula dengan telur bebek, sama akan dikatakan bahwa itu adalah telur mata sapi.

Mungkin ayam dan bebek akan berkomentar yang sama

“Gue yang bertelur, kok jadi sapi yang terkenal”
“Kenapa bukan telur mata ayam atau telur mata bebek?”

Tapi mereka tetap saja membiarkan manusia memberikan nama seperti adanya telur mata sapi. Mungkin karena bagian tengah yang berisi kuningan telur itu lebih lebar dan membentuk sebuah lingkaran layaknya mata sebesar mata sapi maka dinamailah telur mata sapi.

Terus apa hubungannya telur mata sapi dengan apoteker?

Biarlah apoteker menjadi telur mata sapi di saat sekarang ini. Saat keberadaan apoteker tidak diketahui. Ketika perjuangan apoteker di garda terdepan nampaknya tersembunyi. Tatkala nama apoteker semakin tidak berbunyi, di tengah-tengah kondisi pandemi.

Pasien tersebut dirawat oleh dokter dan perawat. Dua profesi itu mungkin lebih familiar dan lebih terdengar bunyinya daripada apoteker. Tapi, apakah apoteker tidak punya peranan dalam kondisi sekarang ini?

Apoteker “telur mata sapi”, biarlah orang-orang lebih mengenal profesi lain (untuk sementara ini). Apoteker berpraktik sesuai dengan kompetensi dan pengalaman yang dimiliki dengan tercapainya kesembuhan dan meningkatnya derajat kesehatan pasien.

Belajar dari telur mata sapi. Berarti, kita belajar untuk mengikhlaskan diri. Saat diri ini tak disebut dalam bunyi. Saat diri ini seolah-olah bersembunyi. Padahal, kefarmasian tidak akan pernah lepas dari pasien. saat seorang sakit, maka di sanalah ada ‘farmasi’ menanti dirinya.

Ikhlas itu tak berbunyi. Ikhlas itu pun tersembunyi. Di balik telur mata sapi, ada ayam dan bebek yang bertelur dengan susah payah. Di balik telur mata sapi pula, ada ayam dan bebek mau berbagi walaupun nama mereka menjadi tersembunyi.

Jika hewan mampu berbuat ikhlas. Mengapa diri ini tak mampu? Apakah hanya mengharapkan pujian sesaat? Ataukah diri ini ingin selalu disanjung di muka penduduk bumi?

Semua profesi kesehatan berperan aktif dalam mengatasi pandemi. Siapapun mereka patut diapresiasi. Mereka semua mengorbankan waktu, tenaga bahkan semua yang ada pada diri.

Apoteker “telur mata sapi”

Berpraktiklah di tengah sunyi
Berkaryalah walau tanpa bunyi
Mengabdi atas nama profesi
Mengukir janji  Yang dulu sempat terpatri
Terpatri di lubuk hati
Hingga napas ini berhenti

Banyak pelajaran kehidupan yang terkadang tidak kita ketahui. Tiap kejadian yang dialami oleh apoteker adalah sebuah pelajaran. Pelajaran yang bisa diambil hikmah dan kebaikannya. Bukankah setiap kejadian itu mengandung kebaikan walaupun kejadian itu buruk? Namun, kita tak mau memikirkannya. Kita terlalu mementingkan diri sendiri dan melihat semua kejadian dari ‘kacamata’ sendiri. Pernahkah kita melihat kejadian-kejadian di sekeliling kita dengan ‘kacamata’ orang lain?

Jika tidak ada bunyi di bumi apakah juga tidak ada bunyi di langit? Pahala yang tak nampak dan terasa yang selama ini kita tidak sadar. Pahala dari rangkaian praktik yang telah dijalani. Pahala yang tidak ada bandingannya saat sudah tidak bisa berpraktik lagi.

Menjadi apoteker “telur mata sapi”, menjadikan praktik sebagai ladang pahala. Tak usah menunggu suara dan bunyi lalu keluar dari persembunyian. Biarlah orang-orang tak kasat mata melihat semua ini. Hal yang paling penting apoteker tetap berpraktik di instansi masing-masing. Bukan malah sebaliknya semakin membuka lubang luka yang masih menganga.

Perjalanan ini masih panjang tapi waktu yang dimiliki semakin pendek. Jika kita masih tetap mementingkan keegoisan diri, tak mau belajar arti sebuah keikhlasan maka hingga habis waktu pun tak akan pernah selesai.

Bukankah kita sudah diajarkan pula oleh satu surah yang di dalamnya tak pernah satu kata pun menyebutkan nama surah tersebut. Nama surah yang sangat familiar di telinga kita.

Iya, surah Al Ikhlas. Jika nama surah-surah lain ada mewakili kata yang ada di dalamnya. Sedangkan Al-Ikhlas tidak ada satu pun. Mungkin, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ikhlas itu memang tak perlu bunyi dan tersembunyi.

Apakah selama ini apoteker tidak berpraktik dengan ikhlas? Bukan, bukan itu bahasan kita sekarang ini. Tapi bahasan kita kali ini membahas agar apoteker semakin ikhlas dalam berpraktik, tidak mengharapkan pujian, sanjungan apalagi hadiah dari orang-orang di luar sana.

Di satu sisi, memang beberapa tahun ini kita sedang membangun ‘citra’ diri agar semakin dikenal oleh masyarakat. Tapi, pada saat kondisi sekarang ini, bukan pujian yang kita harapkan tapi bagaimanakah kita bisa menumbuhkan dan meningkatkan keikhlasan di dalam diri ini?

Sepi bukan berarti tidak ada diri
Sunyi bukan berarti tiada arti
Jika di dalam sepi dan sunyi kita mampu berkarya
Apalagi saat dalam ramai dan banyak mata

Aulia Rahim M.Farm., Apt., seorang apoteker sekaligus pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Borneo Lestari. Selain itu juga diamanahi sebagai ketua bidang hubungan masyarakat Himpunan Seminat Farmasi Masyarakat (HISFARMA) Ikatan Apoteker Indonesia Pengurus Daerah Kalimantan Selatan periode 2018-2022. Sejak kuliah aktif di berbagai organisasi salah satunya Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi. Menempuh pendidikan S1, profesi dan S2 di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Sempat diberikan kepercayaan dari dekanat untuk menjadi repoter Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan.
Lihat semua tulisan 📑.