Apoteker Seumuran Jagung

Apoteker.Net – Dunia kerja memang berbeda dengan dunia kuliah. Bahkan bisa dikatakan sangat jauh berbeda. Antara apa yang dipelajari di kampus dengan kondisi yang ada di lapangan pun biasanya tidak mirip. Maka dari itu bagi seorang apoteker, dituntut untuk bisa memperbanyak jam terbang praktik agar pengalamannya di dunia kerja semakin bertambah.

Seorang apoteker yang baru disumpah. Beberapa bulan kemudian langsung bekerja. Atau bahkan ada yang beberapa bulan sebelum sumpahan sudah bekerja. Menjadi suatu hal yang asing, bagi apoteker baru yang baru memasuki dunia kerja. Kadang, dia harus terkena terlebih dahulu sindrom gagap. Gagap, bingung, khawatir. Apa yang harus dikerjakan? Di sinilah letak apoteker baru diminta untuk berpraktik sambil belajar menyelami seluk beluk dunia kerja dibidang kefarmasian.

Apalagi ditambah dengan latarbelakang bukan dari lulusan Sekolah Menengah Farmasi (SMF). Apoteker yang baru lulus sangat minim di dalam praktik. Mereka hanya dijejali dengan berbagai teori yang harus dihafal dan dipahami sejak dari strata satu hingga lulus apoteker.

Apoteker memang harus berpraktik. Jika ia tidak berpraktik maka semakin sedikit pengalaman yang dia miliki di dunia kerja. Pada saat strata satu hanya beberapa bulan menjalani praktik kerja lapangan baik itu di apotek, puskesmas, industri ataupun instansi pemerintah. Begitu pulu saat pendidikan profesi apoteker, biasa dikenal dengan sebutan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) hanya dalam hitungan beberapa bulan mereka diterjunkan ke dunia kerja.

Dari berpraktik itulah semua ilmu yang dipelajari dari awal perkuliahan sarjana hingga lulus apoteker, bisa diaplikasikan dalam praktik. Walaupun hanya beberapa persen dari ilmu yang dibekali saat kuliah.

Jam terbang praktik memang menjadi kata kunci utama dalam menambah pengalaman. Bahkan apoteker pun harus belajar pada tenaga teknis kefarmasian (TTK) yang lebih dahulu terjun dalam berpraktik. Tak usah ada rasa gengsi sedikit pun jika harus belajar kembali dengan seorang TTK yang memang mereka diatur dari awal untuk pandai berpraktik.

Apoteker yang baru bekerja, akan banyak menemui hal-hal yang bertentangan dengan dirinya atau pengetahuan yang dimilikinya. Wajar jika apoteker yang baru lulus berpegang teguh pada idealismenya. Namun, idealita kadang harus berbeda dengan realita yang ada. Ujian pertama di dunia kerja. Apakah dia akan tetap teguh dengan idealismenya ataukah dia terbawa arus dengan sistem yang sudah lama ada?

Hati seorang apoteker baru mulai gelisah saat dia mengetahui bahwa pasien yang datang di apotek membeli obat hanya untuk disalahgunakan. Dia akan bertanya pada dirinya sendiri, benarkah yang aku lakukan ini? Sekilas memang tak nampak secara jelas obat-obatan yang disalah gunakan tersebut. katakanlah hanya sebuah obat batuk, obat flu. Tapi, dari hal yang kecil itu akan berdampak besar dikemudian hari.

Belum lagi, terkait alat kontrasepsi yang dijual di apotek. Seorang apoteker tidak bisa mengetahui secara jelas apakah alat tersebut akan digunakan sebagai mana mestinya pasangan suami isteri. Ataukah digunakan oleh orang yang belum resmi memiliki sebuah ikatan suci?

Apabila semua akar masalah ditarik ke dalam ajaran agama. Maka semua itu akan bermuara pada pahala dan dosa. Pahala yang bisa selalu mengalir atau dosa yang tak pernah putus. Memang, inilah kondisinya, jika seorang apoteker tidak mengenali rambu-rambu agama dan etika profesi maka semuanya akan dia lakukan tanpa berpikir panjang.

Berorientasi pada pasienkah? Atau berorientasi pada keuntungankah?

Tak bisa dipungkir saat seseorang mendirikan katakanlah sebuah usaha dalam bentuk barang (berdagang). Misi awal yang diharapkan adalah keuntungan (profit) dari usaha tersebut. Untung dan rugi. Hanya itu semata yang menjadi bahan pertimbangan, jika dilandasi dengan tujuan keuntungan.

Tapi, apotek tidak hanya bertujuan pada profit. Apotek juga bertujuan pada pasien. Ada rambu-rambu yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh seorang apoteker saat berpraktik. Berbeda dengan seorang penjual obat.

Orientesi pada pasien. Apoteker memikirkan kondisi pasien. Tidak hanya berfokus pada keuntungan dari penjualan. Misalnya, saat ada orang yang datang ke apotek untuk membeli obat. Ketika ditanya penyakit yang diderita. Sang apoteker mengetahui bahwa penyakit tersebut tidak perlu diberikan obat. Apakah sang apoteker tetap menjual obat kepada orang tersebut? Ataukah membiarkan orang tersebut pergi tanpa membawa obat?

Usai Sumpahan Apoteker
Usai Sumpahan Apoteker (dok. pribadi)

Apoteker baru yang seumuran jagung harus bisa menempatkan diri. Kapan dia harus berorientasi pada profit dan kapan dia harus orientasi pada pasien. Jika pasien itu memang tidak mampu, mengapa harus menawarkan obat dengan harga yang tinggi padahal masih ada obat yang bisa dijangkau oleh pasien?

Ini juga menjadi pembeda antara apoteker dan TTK. TTK mereka berpraktik lebih pada profit oriented sesuai dengan tuntutan Pemilik Sarana Apotek agar bisa maksimal barang terjual. Sebaliknya, apoteker harus bisa berorientasi pada pasien. Agar kedua orientasi tersebut bisa berjalan bersamaan. Walaupun pada kenyataannya lebih banyak berorientasi pada keuntungan.

Apoteker seumuran jagung mau tidak mau harus banyak belajar. Baik itu belajar saat berpraktik ataupun mengulang kembali pelajaran yang sudah diajarkan di bangku perkuliahan. Belajar dari TTK, belajar dari pasien, dan belajar dari siapapun yang ada di lingkungan praktik.

Apoteker seumuran jagung
Kau pasti masih bingung
Dituntut orentasi untung
Tapi pasien menjadi buntung
Bukan hanya belajar menghitung
Tapi belajar agar beruntung

Berpraktik sambil belajar. Belajar sambil berpraktik. Kedua-duanya bisa diterapkan. Saat mendalami teori dalam belajar memperbaharui ilmu kefarmasian kemudian diaplikasikan dalam praktik. Saat berpraktik menemui berbagai masalah dan kendala kemudian dipelajari dengan berbagai teori yang ada.

Seorang apoteker wajib belajar setiap hari. Belajar tanpa henti. Belajar menyelami khazanah keilmuan farmasi. Meningkatkan kapasitas diri lewat berbagai masalah yang muncul tanpa disadari. Bukankah lewat masalah kita menjadi lebih dewasa? Masalah itu pulalah yang membuat apoteker seumuran jagung menjadi lebih dewasa dalam belajar dan berpraktik. Apoteker belajarlah…

Aulia Rahim M.Farm., Apt., seorang apoteker sekaligus pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Borneo Lestari. Selain itu juga diamanahi sebagai ketua bidang hubungan masyarakat Himpunan Seminat Farmasi Masyarakat (HISFARMA) Ikatan Apoteker Indonesia Pengurus Daerah Kalimantan Selatan periode 2018-2022. Sejak kuliah aktif di berbagai organisasi salah satunya Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi. Menempuh pendidikan S1, profesi dan S2 di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Sempat diberikan kepercayaan dari dekanat untuk menjadi repoter Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan.
Lihat semua tulisan 📑.